Belum lagi jelas ujung penyelesaian RUU Pertanahan yang menghebohkan, kini muncul soal baru: RUU Masyarakat Hukum Adat.

Beberapa kalangan sibuk membahas materinya, menanggapi, dan mencari kepada siapa tepatnya kontribusi bagi pembahasan dan penyusunannya mesti diberikan. Di saat yang sama, kerisauan juga menghinggapi masyarakat usaha. Mungkin karena "geregetan" atau mungkin karena yakin sekali, isu masyarakat hukum adat ini mesti bertubi-tubi dilontarkan. Jika tak salah, pengaturan sekitar lembaga adat, apakah hukum adat, desa adat, masyarakat adat, atau masyarakat hukum adat ini, sudah tersebar dalam berbagai UU dan RUU. Di samping UU Pokok Agraria 1960, soal ini telah diatur pula antara lain dalam UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Lingkungan Hidup, bahkan UU Desa. Dalam RUU Pertanahan yang tadi disinggung juga dimuat pengaturan soal ini.

Lebih dari sekadar pengakuan keberadaan, dalam berbagai UU dan RUU itu telah diakomodasi kerangka kelembagaan, hak dan kewenangan masyarakat adat, khususnya dalam soal akses ke pemanfaatan tanah. Tinggal kapan dan bagaimana mendorong agar peraturan pelaksanaan UU yang telah ada itu dapat segera dikeluarkan. Sudah barang tentu, karena sumbernya banyak, keterpaduan dalam penjabaran konsepsinya juga mesti dijaga agar tidak tumpang tindih atau malah bertabrakan.

Karena telah adanya pengaturan di beberapa UU dan bahkan RUU, catatan kali ini tak secara khusus mengulas soal teknis dan materi, melainkan tentang aspek-aspek yang pokok, mendasar, dan lebih ke hulu sifatnya. Dari sisi perundang-undangan, terutama dari segi politik perundang-undangan, pertanyaan pokoknya: apa lagi yang ingin dicapai dan diwujudkan dalam RUU Masyarakat Hukum Adat? Kalaupun ada yang kurang, masih perlukah itu ditempuh melalui sebuah UU?

Di luar soal hubungan hak dan akses pemanfaatan tanah dan sumber daya alam, yang lingkup dan jangkauannya telah secara pokok terpayungi dalam banyak UU dan RUU Pertanahan, aspek apa lagi yang ingin dijangkau melalui RUU Masyarakat Hukum Adat? Sebaiknya soal ini terlebih dahulu diperjelas para politisi—baik yang berkiprah di parpol maupun lembaga permusyawaratan dan perwakilan, terutama DPR—sebelum buru-buru merambah ke soal teknis, menyusun DIM, dan sebagainya. Dari sisi pemerintah, bagus apabila Menteri Hukum dan HAM, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sekretaris Negara, dan Sekretaris Kabinet dapat mencermati dulu arah dan tujuan yang ingin digapai RUU ini sebelum menyampaikannya kepada Presiden.

Masalah pertanahan tampaknya akan menjadi persoalan nasional yang penting dan sangat perlu mendapat perhatian bagi pemecahannya sekarang dan di masa depan. Tak salah bicara soal geopolitik dan posisi Indonesia sebagai kekuatan maritim dunia, atau sekitar nilai tukar rupiah, pentingnya alutsista bagi TNI dan Polri, defisit neraca berjalan, kebijakan impor, dan lain-lain. Namun, sebaiknya tetap diwaspadai bahwa masalah pertanahan inilah yang sesungguhnya akan menjadi masalah besar kita di waktu mendatang.

Baik dari perspektif pembangunan kesejahteraan, peningkatan produksi dan produktivitas, kelancaran pembangunan, keadilan, HAM, maupun stabilitas politik dan keamanan, penanganan soal ini sebaiknya mendapat prioritas dan dengan pendekatan mendasar. Problema yang ada hingga saat ini bukan tak mungkin timbul sebagai buah kebijakan dan lemahnya pelaksanaan aturan yang kurang baik, atau mungkin juga karena masih belum cukupnya atau lemahnya aturan itu sendiri.

Namun, mengalihkan kelemahan administratif, baik pemerintahan, kebijakan, maupun aturannya, menjadi isu penindasan, kontroversi kelompok lemah-kuat, pembelaan rakyat kecil, pengentasan kelompok marjinal, atau obyek lainnya yang senapas dengan itu, bisa-bisa malah akan menghadirkan persoalan yang mungkin justru tidak kita inginkan. Menggunakan RUU Masyarakat Hukum Adat dalam kerangka pikir dan pendekatan dalam permasalahan tadi, meminjam istilah medik, malah overdosis nantinya.

Penggunaan pendekatan di atas sebaiknya ditimbang matang terlebih dulu secara hati-hati, terutama dalam upaya membangun kehidupan berbangsa dan ber-NKRI yang berbineka ini. Semangat meneguhkan sebuah negara dengan "pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, yang memajukan kesejahteraan umum, yang mencerdaskan kehidupan bangsa, dan lain-lain", sangat memerlukan pendekatan hak dan kewajiban kewargaan negara ketimbang pendekatan yang berbasis kelompok-kelompok masyarakat (atas dasar apa pun) yang terkesan memilah-milah mereka. Singkatnya, kesatuan dan persatuan warga-nya negara.

Penghormatan identitas budaya dan hak masyarakat tradisional

Bilamana RUU Masyarakat Hukum Adat tadi diamati, sekilas akan tertangkap kesan bahwa Pasal 28-I UUD (huruf i besar) digunakan sebagai landasan formal guna merambah aspek-aspek yang secara substansi bisa melampaui prinsip penghormatan yang diamanatkan pasal itu sendiri. Pasal terakhir dalam Bab X-A tentang HAM itu meneguhkan prinsip bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan perubahan. Namun, perlu pula dicermati dengan sikap arif, betapa karakter dan semangat Pasal 28-I tadi tidaklah bersifat statik.

Tak berhenti pada penghormatan identitas budaya dan hak-hak masyarakat tradisional, tetapi juga menggapai aspek semangat dan dinamika nilai. Ketika sikap dan bentuk kehidupan masyarakat berkembang dan berubah secara sosiokultural, ketika warna ke-kelompok-an dan ciri tradisionalitas menipis, perlu kerendahan hati menerima dan membaca Pasal 28-I UUD dalam perspektif dinamiknya.

Amanat Pasal 28-I mungkin memang masih perlu dijabarkan pemaknaan dan pemahamannya. Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional mesti tetap dihormati. Itu benar dan wajib. Namun, seiring dengan itu, adalah upaya berkelanjutan yang juga harus dilakukan untuk membangun kehidupan bangsa ke taraf kehidupan yang lebih maju, modern, dan sejahtera. Nilai-nilai tradisional yang mendasar, luhur, dan norma pokok yang baik serta memiliki nilai nasional malah mesti diangkat dalam membentuk aturan guna melandasi arah dan jalannya kehidupan nasional. Begitu pula hukum adat.

Dalam kehidupan dan perkembangan masyarakat yang kian terbuka dan maju, sulit dimungkiri dan dielakkan melemahnya peran dan melunturnya fungsi hukum adat. Sekalipun begitu, esensi nilai-nilai tradisional dan norma hukum adat yang baik mesti diangkat dalam atau menjadi jiwa hukum nasional.

Harus diakui, beberapa pokok pikiran dan filosofi sekitar tujuan, bangun, dan susunan negara dalam UUD masih butuh interpretasi dan pemahaman bersama. Bukan tak mungkin banyak yang masih bingung ketika mencoba memahami alur pikir pasal-pasal baru dalam rangkaian empat amendemen, ketika orang mencoba merunutnya dari pokok pikiran UUD sebelum diamendemen. Bukan tak mungkin yang mencoba merunut pun bingung karena tiadanya lagi pegangan setelah Penjelasan UUD dihapuskan seluruhnya dalam laku amendemen. Semua itu bukan hal yang mustahil, ketika dalam tataran hilir dan instrumental, banyak yang mencoba menjabarkan berdasar interpretasi sendiri terhadap soal-soal pokok yang sesungguhnya masih krusial sifatnya.

Ambillah misal, pokok pikiran yang pernah ada dalam Penjelasan UUD—tetapi kini telah dihapus—sekitar kata istimewa: "II. Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landscappen dan volksgemeenshappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut".

Terlepas dari masalah semantik ataupun tata bahasa waktu itu, ada dua frasa yang menyangkut keistimewaan, yaitu "daerah yang bersifat istimewa" dan satu lagi "daerah-daerah istimewa tersebut". Penggalan kutipan itu merupakan bagian dari keseluruhan Penjelasan UUD yang dalam rangkaian amendemen telah dihapus. Masalahnya, kata istimewa dalam dua frasa itu tidak memiliki kesamaan makna. Tafsir tak pernah ada, sementara kesatuan paham juga belum pernah terbentuk. Dalam kondisi seperti itu—dulu—lahir tiga daerah sebagai daerah istimewa berdasar penafsiran "situasional" dalam rangka penyelesaian persoalan politik yang timbul.

Ketiadaan semua itu acap kali membuat orang berbicara dahan dan ranting tanpa mengenali akar dan batang pokok. Ibaratnya juga seperti membangun kamar-kamar pemondokan di atas fondasi dan desain rumah joglo. Contoh lain yang bermula dari ketidaksesuaian filosofi UUD dengan struktur dan fungsi-fungsi yang diatur dalam batang tubuh juga dengan mudah ditemukan.

Tatanan baru sekitar kedudukan MPR yang kini diberi kewenangan mengubah UUD dibangun begitu saja di atas desain "lama" semasa MPR masih lembaga tertinggi negara dan pemegang kedaulatan rakyat yang nyatanya sudah ditinggalkan. Hampir serupa, ketika banyak yang memikir ulang kebutuhan "semacam" GBHN, para anggota MPR pun harus berakrobat membangun dalil apakah MPR kini masih berwenang menyusun dan menetapkannya. Begitu pula sekitar keberadaan DPD yang selalu mengklaim diri sebagai lembaganya para senator, tetapi bagai sengaja mengabaikan kebutuhan justifikasinya dalam sebuah negara yang sedari awal lahir sebagai negara kesatuan.

Integrasikan ke dalam UU Desa

Masyarakat adat, desa adat, masyarakat hukum adat, adalah lembaga. Seperti halnya negara, ia adalah entitas. Ia memiliki struktur, fungsi, perangkat, tatanan, dan kewenangan, baik untuk menjalankan fungsi maupun melindunginya. Dulu, masyarakat kita hidup dalam entitas serupa itu yang ratusan banyaknya. Namun, dalam perjalanan hingga terbentuknya NKRI, secara prinsip semuanya melebur dalam tatanan negara tanpa melupakan asal-usul, nilai-nilai tradisional, ataupun aspek lain yang bersifat istimewa. Karena cita dan pemahaman itu pula lahir prinsip tidak ada negara dalam negara.

Ketika NKRI tersusun dalam struktur pemerintahan dan pembagian wilayah negara, semua warga selaku subyek berikut entitas awal mereka, apakah itu daerah swapraja atau adat, melebur di dalamnya. Ketika cita pembentukan pemerintahan negara ditujukan untuk antara lain melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, penyelenggaraan layanan berlangsung dengan pendekatan kewargaan bangsa dan negara. Subyeknya warga bangsa dan bukan lagi kelompok. Dari sudut pendekatan ini, ketika struktur dan susunan pemerintahan negara sudah terwujud dalam tatanan pemerintah pusat, pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, kota), dan desa, maka penyelenggaraan layanan administrasi, perlindungan, ketertiban, ketenteraman, dan lain-lain, termasuk pembangunan, mestinya berlangsung dalam pola pikir dan tatanan itu. Dengan pendekatan ini pula sikap dan penanganan segala layanan bagi semua warga berlangsung dalam kerangka struktur dan susunan pemerintahan NKRI.

UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Desa sebenarnya sudah lebih dari cukup mengatur soal desa dan dengan jelas menyatakan desa adat sebagai jenis desa yang diatur di dalamnya. UU ini bahkan memberikan kewenangan kepada daerah untuk menetapkan desa adat di wilayahnya. Seperti halnya desa pada umumnya, desa adat juga diberi kewenangan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa dan kemasyarakatan, berdasar prakarsa sendiri, sesuai hak asal-usul dan adat istiadat yang berlaku. Bab XII UU mengatur ketentuan khusus desa adat, dan Pasal 96 hingga 111 secara rinci malah mengatur soal penataan, penetapan, mekanisme penggabungan, kewenangan, bahkan mekanisme perubahan status desa adat. Mengapa harus membentuk UU baru?

Karena itu, kalaupun ada kekurangan, cukup ditempuh melalui penyempurnaan UU Desa atau mengelaborasinya lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaan. Yang utama, pendekatan ini tidak menimbulkan komplikasi politik apa pun bagi keutuhan NKRI. Selain menghindarkan dampak inflatoir di bidang UU, negara ini juga tidak kian terdorong menjadi negara UU.